FENOMENA KERUSAKAN HUTAN INDONESIA



Fenomena Kerusakan Hutan Indonesia

Fenomena  yang terjadi kebakaran hutan di Indonesia, tidak hanya membahayakan untuk mahluk sekitarnya, tapi juga mendatangkan kerugian yang tidak sedikit. "Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-98, diestimasikan sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Penyebab utama dari kebakaran hutan dan lahan adalah ulah manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dan lain-lain.

Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi "tradisi" tahunan di Indonesia terutama setiap kali musim kemarau datang. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-98, diestimasikan sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.

Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerbangan dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran. Tercatat sekitar 70 juta orang di enam Negara di lingkup ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap yang diekspor dari kebakaran di Indonesia pada tahun 1997-98.

Penyebab utama dari kebakaran hutan dan lahan adalah ulah manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dll (lihat Gambar 1). Selain itu, kebakaran diperparah akibat meningkatnya pemanasan global itu - kemarau ekstrim, yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim El Niño, memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Setiap tahunnya dalam musim kemarau, hampir berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut.
Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hotspots (titik panas) terjadi di lahan gambut. Data terakhir berdasarkan pantauan koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest, antara 1-31 Juli 2006, terdapat 56% titik panas yang ditemukan di Provinsi Riau, terdapat pada lahan gambut. Pada periode yang sama, hampir 30% dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan Barat juga terdapat pada tanah gambut.

Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta ha lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta ha) dan Kalimantan. Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerapair), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.

Menurut Data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi sekaligus dampak ikutan seperti sap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya. Untuk itu, WWF-Indonesia menghimbau pihak pemerintah, swasta dan masyarakat luas untuk bersama-sama berbuat mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama:

1.      Pembukaan lahan gambut harus dihentikan dan semua lahan gambut harus dilindungi dan dikelola secara seksama dengan memperhatikan tata hidrologi secara makro dan potensi lepasnya emisi karbon ke atmosfer.
2.      Sektor swasta harus menerapkan praktek pengelolaan lestari dan bertanggung jawab, termasuk meniadakan pembakaran lahan dan melindungi daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman hayati disekitar konsesi mereka.
3.      Harus ada mekanisme terpadu untuk mengkoordinasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, mensinergikan dan menerapkan peraturan terutama terkait perlindungan lingkungan.
4.      Masyarakat setempat harus diberdayakan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaan lahan yang lestari, terutama membantu petani/pekebun skala kecil dalam proses transfer ilmu dan teknologi untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar.

Catatan :

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003]. "

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor" Hutan Indonesia Menjelang Kepunahan Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian dianataranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].

Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.







Dampak Kerusakan HutaN

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas penanggulangan Bencana, 2003].

Selain itu, Indonesia juga akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia, dan sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan.

Apa hanya itu?

Hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat.

Mengapa Hutan Kita Rusak?

Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan hutan.

Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka. Dan hal ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok.






Bagaimana itu terjadi?

Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970. Dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri di tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land clearing). Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan.

Di tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa ijin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan. Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Indonesia melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan

baku serpih. Dan di tahun 2003, Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi 6,8 juta meter kubik setahun dan akan diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7 juta meter kubik setahun. Pemerintah juga telah membentuk Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) yang bertugas untuk melakukan penyesuaian produksi industri kehutanan dengan ketersediaan bahan baku dari hutan. Selain itu, Pemerintah juga telah berkomitmen untuk melakukan pemberantasan illegal logging dan juga melakukan rehabilitasi hutan melalui Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang diharapkan di tahun 2008 akan dihutankan kembali areal seluas tiga juta hektar.

Hasil Yang Diperoleh apakah maksimal ?

Sayangnya Pemerintah masih menjalankan itu semua sebagai sebuah ucapan belaka tanpa adanya sebuah realisasi di lapangan. Hingga tahun 2002 masih dilakukan ekspor kayu bulat yang menunjukkan adanya pelanggaran dari kebijakan pemerintah sendiri. Dan pemerintah masih akan memberikan ijin pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman seluas 900-an ribu hektar kepada pengusaha melalui pelelangan. Pemerintah juga belum memiliki perencanaan menyeluruh untuk memperbaiki kerusakan hutan melalui rehabilitasi, namun kegiatan tersebut dipaksakan untuk dilaksanakan, yang tentunya akan mengakibatkan terjadinya salah sasaran dan kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan.

Hal yang terpenting dan belum dilakukan pemerintah saat ini adalah menutup industri perkayuan Indonesia yang memiliki banyak utang. Pemerintah juga belum menyesuaikan produksi industri dengan kemampuan penyediaan bahan baku kayu bagi industri oleh hutan. Hal ini dapat mengakibatkan kegiatan penebangan hutan tanpa ijin akan terus berlangsung.

Dan dengan hanya menurunkan jatah tebang tahunan, maka kita masih belum bisa membedakan mana kayu yang sah dan yang tidak sah. Bila saja pemerintah untuk sementara waktu menghentikan pemberian jatah tebang, maka dapat dipastikan bahwa semua kayu yang keluar dari hutan adalah kayu yang tidak sah atau illegal, sehingga penegakan hukum bisa dilakukan.

Apa yang seharusnya dilakukan?

Untuk menghentikan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah harus mulai serius untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin baru pengusahaan hutan, pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih. Pemerintah juga harus melakukan uji menyeluruh terhadap kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan hukum bagi industri yang bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan penataan kembali kawasan hutan yang rusak dan juga menangani dampak sosial akibat penghentian penebangan hutan, misalkan dengan mempekerjakan pekerja industri kehutanan dalam proyek penanaman pohon.

Kemudian, bila telah tertata kembali sistem pengelolaan hutan, maka pemberian ijin penebangan kayu hanya pada hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal. Selama penghentian sementara [moratorium] dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia. Dan yang terpenting adalah mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan hutan, karena rakyat Indonesia sejak lama telah mampu mengelola hutan Indonesia.

Dapatkah individu membantu?

Ya, dengan melakukan lobby, menulis surat ataupun melakukan tekanan kepada pemerintah agar serius menjaga hutan Indonesia yang tersisa. Selain itu, lakukan pengawasan terhadap peredaran kayu di wilayah terdekat, dan berikan laporan kepada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terdekat ataupun lembaga non pemerintah lainnya dan kepada instansi penegak hukum, serta media massa, bila menemukan terjadinya peredaran kayu tanpa ijin maupun kegiatan pengrusakan hutan. Dan mulailah menanam pohon untuk kebutuhan kayu keluarga di masa datang, memanfaatkan kayu dengan bijak dan tidak lagi membeli kayu-kayu hasil penebangan yang merusak hutan.

Kebakaran Hutan Terbesar di Dunia

BELUM pernah ada polusi asap di sepanjang sejarah dunia sebesar yang dihasilkan kebakaran hutan di Indonesia tahun 1997/1998. Kebakaran hutan tahun 1997/ 1998 memang paling besar jika dibandingkan dengan peristiwa kebakaran yang pernah terjadi sebelumnya.


            Tahun 1997, kebakaran hanya 263.992 hektar hutan di 25 provinsi, terdiri dari hutan tanaman industri (HTI), hutan sekunder, dan padang alang-alang. Tahun 1998 ini kebakaran hutan seluas 520.000 hektar melanda Kaltim, Aceh, Sumut, Sumsel, Riau, Sulut, Kalteng, dan Maluku. Kebakaran di Kaltim terbesar pada areal HPH (315.132 hektar) dan HTI seluas 95.593 hektar.

Dari beberapa faktor dominan yang mempengaruhi kebakaran, seperti sumber api, kegiatan pembukaan lahan, faktor sosial, budaya dan ekonomi, curah hujan, dan keterjangkauan wilayah daerah rawan kebakaran menjadi I hingga IV. Kebakaran terbesar tahun 1998 yang terjadi di Kalimantan Timur menimbulkan kerugian sekitar Rp 10 trilyun.

            Data dari Ringkasan Eksekutif Kantor Menteri Lingkungan Hidup menggambarkan, dilihat dari jenis hutan dan lahan yang terbakar tahun 1998, memperkuat asumsi bahwa penyebab utama kebakaran adalah pembukaan lahan secara besar-besaran. Dari 507.239,5 hektar hutan dan lahan yang terbakar tahun 1998, sebagian besar yaitu 315.132 hektar adalah lahan HPH. Lahan/ladang masyarakat yang terbakar hanya 1.857 hektar dan kebun masyarakat 10.758 hektar. Sisanya adalah lahan hutan, terutama hutan Taman Nasional Kutai.

            Kebakaran tahun 1998 di Kaltim tidak hanya akibat kemarau panjang (El Nino), tetapi juga karena sikap dan kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi cuaca masih rendah. Akibat El Nino yang masih kuat, sebagian Kaltim, terutama kawasan Kabupaten Kutai, belum mendapatkan hujan sejak Desember tahun 1997. Mengetahui bahwa hujan telah jatuh di provinsi lain, masyarakat Kaltim mulai membakar lahan untuk berbagai aktivitas, tanpa menyadari bahwa El Nino di daerah mereka belum berakhir.

Berdasarkan data kebakaran hutan dari tahun 1984 sampai dengan 1997, serta analisis kebakaran hutan dan lahan tahun 1998, terlihat bahwa Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya tidak mengalami kebakaran sesering Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.

Kemungkinan besar tingkat konversi lahan di Indonesia bagian timur tidak setinggi di Indonesia bagian barat. Perubahan ekologi di Indonesia bagian timur belum seserius seperti di Indonesia bagian barat. Kecuali data statistik daerah Riau menunjukkan, provinsi itu tidak mengalami kebakaran, hanya tahun 1984, 1993, dan 1995.

PENGAMAT pembangunan kehutanan Ir Titus Sarijanto melihat, selama taraf hidup petani masih seperti sekarang ini, sementara lahan yang tersedia cukup luas, maka pembakaran dalam penyiapan lahan yang menghasilkan asap masih tetap akan terjadi. Karena itu, petani harus didorong agar mampu atau sejahtera sehingga mereka mampu melaksanakan pertanian sepanjang tahun dengan cara intensif.

Bila petani lahan kering ini mampu melaksanakan pertanian sepanjang tahun dengan cara intensif, di mana lahan tidak sempat ditumbuhi semak belukar, maka tidak perlu lagi membakar semak-semak dalam mempersiapkan penanaman.
Pertanian intensif berarti pengolahan lahannya juga intensif dengan pemupukan. Hal itu berarti petani harus mampu membeli pupuk dan mampu mengolah lahan dengan baik. Bila lahannya lebih dari dua hektar, berarti harus mampu memakai mesin. Oleh karena itu, petani harus didorong agar mampu atau sejahtera supaya bisa melaksanakan pengolahan lahan secara intensif.

Titus Sarijanto yang juga alumnus Fakultas Hutan Institut Pertanian Bogor itu menjelaskan, jika petani telah memiliki kebun atau hutan tanaman cukup luas, sehari-hari mereka akan sibuk mengurus kebun atau hutan tanamannya.

Di Malaysia Timur, Sarawak dan Sabah, ungkap Titus, ada juga asap, tetapi petani tradisional di sana tidak banyak. Mereka sudah banyak yang dapat mempraktikkan pertanian modern tanpa bakar, karena sebagian besar mereka telah mampu membiayai penyiapan tanaman dengan mesin atau mekanis. Kalaupun ada pembakaran, sebagian besar sudah mampu melaksanakan pembakaran terkendali sehingga tidak merembet ke luar lahannya.

Untuk membuat petani di luar Jawa menjadi petani modern, pemerintah sebenarnya dapat memanfaatkan peran swasta. "Swasta dapat menjalin kerja sama dengan petani, misalnya dalam pembuatan/pembangunan hutan tanaman industri atau hutan rakyat," kata Titus. Sebab, swasta berkepentingan memperoleh bahan baku bagi industrinya, sedangkan petani berkepentingan memperoleh penghasilan dari produksi kayu secara terus-menerus.

"Pemerintah sebenarnya cukup menyediakan lahan atau kawasan hutan yang rusak, sementara modalnya dapat dibantu oleh swasta atau pemerintah dengan dana reboisasi," ujarnya seraya menunjuk contoh-contoh perusahaan yang telah melaksanakan program itu di Kalimantan.

Begitu juga di bidang perkebunan, kredit dapat disediakan untuk petani dengan jaminan dari swasta yang menjadi "bapak angkatnya". Yang harus dilakukan pemerintah adalah menciptakan sistem yang bersifat saling menguntungkan, terutama menyangkut perhitungan persentase harga komoditas bahan baku terhadap harga komoditas setelah diolah.

Titus menambahkan, swasta juga harus mampu memanfaatkan kayu-kayu kecil hasil pembersihan lahan, agar menghindari kecenderungan pembakaran. Perusahaan-perusahaan yang dapat memanfaatkan kayu-kayu kecil ini adalah perusahaan industri pulp atau chip (potongan kayu).

Tentunya masing-masing organisasi diatas memiliki KEPENTINGAN tersendiri (ekonomi, politik,..),terlepas dari berbagai kepentingan tersebut , saya mencoba membahas  tentang masalah ini dari segi TEKNIK!! Menurut saya, yang lebih penting sekarang adalah, bagaimana caranya memadamkan kebakaran yang terjadi, sehingga tidak sampai berlarut-larut dan memakan kerugian jiwa maupun materi yang besar!!


Apa itu kebakaran hutan dan lahan?

Kebakaran hutan dan lahan adalah sebuah kejadian terbakarnya kawasan hutan/lahan baik dalam luasan yang besar maupun kecil. Kebakaran hutan dan lahan seringkali tidak terkendali dan bila ini terjadi maka api akan melahap apa saja dihadapannya mengikuti arah angin. Kebalikannya, penyebaran api kebakaran di lahan gambut justru tidak mengikuti arah angin. Titik api justru berada dikedalaman lebih dari 2 meter. Pada kawasan gambut rembetan api akan meluas kesegala arah dan sulit untuk diperkirakan penyebarannya.

Mengapa terjadi kebakaran hutan/lahan ?

Kebakaran terjadi karena dua hal: karena ulah manusia baik disengaja maupun tidak disengaja dan karena terbakar dengan sendirinya. Kebakaran dengan sendirinya juga tidak disembarang tempat. Kebakaran dengan sendirinya hanya terjadi pada daerah yang tanahnya mengandung batubara. Pada daerah lain mustahil terjadi kebakaran dengan sendirinya. Hal ini disebabkan jenis hutan alam di Indonesia yang masuk dalam kategori Hutan Tropis (tropical Forest) atau Hutan Hujan Basah (Rain Forest) sehingga lantai hutan selalu dalam keadaan basah/lembab.

Untuk unsur kesengajaan, manusia sengaja melakukannya untuk membuka dan membersihkan lahan. Pembakaran hutan dalam waktu singkat juga diyakini dapat meningkatkan kesuburan tanah. Pada beberapa kelompok masyarakat yang masih memiliki kearifan tradisional, pembakaran hutan dilakukan sebulan sebelum musim penghujan. Hal ini diperlukan karena hutan/lahan yang terbakar dalam waktu yang lama malah justru menghilangkan kesuburan tanah.

Untuk unsur ketidak sengajaan biasanya terjadi pada musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau, sebatang rokok yang dibuang kesemak yang kering akan mampu menimbulkan api apabila angin bertiup perlahan. Bekas api unggun yang tidak mati dengan sempurna juga mampu memicu terjadinya kebakaran hutan/lahan.

Yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan !

Untuk setiap hektar kebakaran hutan/lahan maka akan dihasilkan:

- 18,9 hingga 702 Karbon dioksida
- 1,5 sampai 11,5 Karbon monoksida
- 0,000009 sampai 0,000035 ton Bahan-bahan partikulat
- 0,4 sampai 2,6 juta ton ozon
- 0,0000009 ton amonia
- 0,33 juta ton oksida nitrogen



Benda-benda tersebut diatas sangat berbahaya apabila dihirup oleh manusia. Penyakit yang bisa ditimbulkan diantaranya Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Bronchitis dan Diare.

Dampak kebakaran hutan/lahan Dampak terhadap sosial budaya dan ekonomi:

a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat dan terganggunya aktivitas sehari-hari.
b. Peningkatan jumlah hama.
c. Terganggunya kesehatan: Brochitis, ISPA, diare dll.

Dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan.


a. Hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna
b. Terjadinya banjir di daerah yang hutan gambutnya terbakar
c. Polusi udara dan air
d. Pada jangka panjang dapat menurunkan kesuburan tanah

Secara fisika Tanah menjadi rusak dan terbuka sehingga ketika terjadi hujan maka lapisan tanah teratas akan terbawa ke sungai dan mengendap disana (sedimentasi). Lama kelamaan sungai menjadi dangkal sehingga ketika musim hujan yang panjang akan menyebabkan banir

b. Mempercepat proses penggerusan lapisan hara yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh subur secara Kimia Terjadinya peningkatan keasaman tanah, Secara Biologi Membunuh organisme tanah yang bermanfaat bagi upaya peningkatan kesuburan tanah.

Kerugian dari kebakaran hutan/lahan.
a. Hilangnya tegakan kayu hutan di hutan
b. Hilangnya hasil hutan non kayu sperti karet, damar, rotan dll
c. Hilangnya tumbuhan maupun bibit yang bermanfaat bagi manusia, misalnya tanaman obat dll.
d. Hilangnya tempat berekreasi
e. Hilangnya fungsi penyediaan air bagi pertanian
f. Hilangnya flora dan fauna yang memperkaya pengetahuan manusia
g. Mempercepat terjadinya perubahan iklim (climate change).

Pada ketinggian 10 km diatas bumi terdapat lapisan ozon yang tugasnya melindungi bumi dari beberapa unsur cahaya matahari yang merusak. Ketiadaan lapisan ozon akan membuat matahari menyinari bumi secara langsung dan mengakibatkan kanker kulit pada manusia. Karbon yang terlepas ke udara dari hasil kebakaran hutan/lahan akan menyebabkan lapisan ozon rusak sehingga bahan berbahaya dari matahari akan sampai ke bumi tanpa halangan. Disamping itu, karbon tersebut juga akan terperangkap di atas awan pada ketinggian 5 – 7 km. Akibatnya, panas dari sinar matahari tidak dapat keluar dari bumi sehingga suhu udara akan semakin bertambah. Suhu udara di bumi rata-rata bertambah 2 derajad celcius setiap 10 tahun sejak 1980. hal ini terjadi salah satunya akibat hilangnya hutan dan kebakaran hutan.

mencegah kebakaran hutan dan lahan:

1.      Jangan melakukan pembakaran untuk melakukan pembukaan lahan

2.      Mintalah petunjuk kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan maupun Dinas Pertanian setempat tentang tatacara pembukaan lahan tanpa bakar. Bila dinas setempat tidak memilikinya, lakukan cara berikut ini:
a)      Tebanglah pohon dan semak belukar pada lahan yang ingin anda gunakan untuk berkebun,
b)      Potong-potong/cacah pohon/ranting/semak tersebut dan sebarkan kesekeliling lahan anda.
c)      Jangan gunakan bahan kimia untuk mematikan pohon/.semak. Dalam jangka panjang, penggunaan bahan kimia terus menerus akan membuat tanah kehilangan kemampuan untuk beregenerasi (mengembalikan kesuburan), akibatnya kebutuhan anda untuk pupuk dimasa mendatang akan semakin bertambah.
d)     Biarkan sisa semak dan pepohonan yang telah anda cacah tersebut mengering selama lebih kurang sebulan. Bila memungkinkan siramlah air kesegala penjuru lahan anda untuk membantu mempercepat proses pembusukan.
e)      Tanamlah bibit anda disela-sela batang pohon/potongan ranting/ semak tersebut. Hal tersebut sangat berguna sebagai pupuk bagi tanaman anda.

3.      Bangunlah sumur di lahan anda sehingga anda tidak akan kesulitan mencari air seandainya terjadi kebakaran yang tidak terkendali di lahan ataupun diluar lahan anda. Jangan lupa agar kampung anda menyediakan setidaknya dua buah mesin robin untuk menyedot dan menyemprotkan air ditambah selang sepanjang minimal 50 meter, dua buah.

4.      Bila memungkinkan, galilah parit disekeliling lahan anda, minimal disekeliling rumah anda dengan dalam/lebar minimal 30/30 centimeter. Periksalah menjelang musim kemarau agar tidak terjadi pendangkalan. Parit ini sangat berguna untuk mencegah api memasuki lahan/daerah rumah anda.

5.      Ajak tetangga dan warga kampung anda untuk membuat sistem peringatan sederhana apabila terjadi kebakaran. Kentongan merupakan sarana yang paling murah untuk sebuah sistem peringatan. Pukulah kentongan sebanyak mungkin apabila terjadi kebakaran hutan/lahan untuk memperingatkan tetangga-tetangga anda.
Yang sebaiknya dilakukan jika terjadi kebakaran hutan dan lahan1. Pukulah kentongan untuk memberitahu tetangga dan atau warga kampung anda dan pemerintah daerah setempat.

Kebakaran liar, atau juga kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, kebakaran rumput, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi dapat juga memusnahkan rumah-rumah atau sumber daya pertanian. Penyebab umum:termasuk petir sekecerobohan mansusia dan pembakaran lahan.

Berbagai organisasi lingkungan sedunia meminta Pemerintah Indonesia menyelamatkan hutan rawa gambut di Sumatera. Pembalakan liar dan alih fungi lahan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi ancamannya.

Penegasan itu disampaikan bersama oleh NGO Internasional, CAPPA, Robin Wood dan Friends of Earth, Jikalahari dari Indonesia dalam siaran pers yang diterima detikcom, Kamis (20/04/2006). Mereka menyatakan, salah satu hutan gambut tropis terbesar di dunia berada di Sumatera.

Hutan bergambut itu diperkirakan akan segera hilang akibat penebangan liar dan alih fungsi menjadi tanaman industri oleh perusahaan kertas APRIL dan APP. Aktivis Jikalahari, Zulfahmi menjelaskan, semenanjung Kampar Provinsi Riau masih memiliki lebih dari 400,000 hektar hutan rawa gambut.

Itu adalah salah satu hutan dataran rendah terbesar di Sumatera. Kawasan ini merupakan habitat bagi Harimau Sumatera dan beberapa species yang terancam punah. Karbon yang dikeluarkan akibat Kerusakan pada kawasan hutan rawa berpengaruh terhadap perubahan iklim global.

“Hutan di Riau terus dirusak untuk memenuhi permintaan bubur kayu dan perusahaan kertas APP dan APRIL,” kata Zulfahmi. Kedua perusahaan kertas mengalihfungsikan lebih dari satu juta hektar hutan untuk pemenuhan bahan baku.

Dalam dua tahun terakhir APRIL telah menghabiskan 50,000 hektar hutan rawa gambut di Kabupaten Pelalawan dan pembangunan jalan untuk mengakses semenanjung Kampar. Studi dilakukan ProForest, selaku konsultan APRIL, menyatakan perusahaan itu merusak keseimbangan “water level” dari rawa gambut semenanjung Kampar.

Jalan yang membelah hutan bergambut itu, bisa merusak keseluruhan ekosistem rawa. Padahal sejak pertengahan tahun lalu, berbagai organisasi lingkungan sudah meminta pemerintah agar kawasan tersebut dijadikan Taman Nasional.

“Hal itu penting untuk menghentikan beberapa aktifitas penebang liar yang dilakukan masyarakat atau industri,” kata Rully Syumanda, forests campaigner dari Friends of the Earth Indonesia.



Organisasi lingkungan ini menuntut pemerintah menghentikan segala aktivitas penebangan kayu untuk kepentingan dua pabrik kertas di Riau. “Sepanjang APRIL dan APP mengkonversi hutan alam, rekanan bisnis, pemerintah dan NGO perlu membekukan hubungan mereka dengan perusahaan ini,” kata Jans Witing dari RobinWood.
Perluasan industri harus dihentikan

Kerusakan Hutan

Pekanbaru, Kompas - Pemerintah Provinsi Riau harus menghentikan perluasan industri yang berbasis konversi hutan. Hilangnya hutan alam seluas 3,7 juta hektar antara 1982-2005 menyebabkan alam berada pada titik jenuh dan tidak sanggup lagi mendukung sektor industri itu. Salah satu dampak yang paling nyata dirasakan masyarakat adalah banjir yang setiap tahun semakin parah.

Demikian pernyataan bersama Walhi Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), dan Yayasan Elang, Kamis (11/1), di Pekanbaru.

Raflis dari Jikalahari mengatakan, dari citra satelit 2005, hutan alam lahan kering diperkirakan tersisa 1,057 hektar. Sedang hutan alam lahan basah atau hutan gambut yang tersisa sekitar 1,937 hektar. Sampai tahun 2000, terdapat 312 unit industri kehutanan dengan kapasitas produksi mencapai 4,9 juta ton per tahun. Kayu yang dibutuhkan untuk seluruh industri itu tidak kurang dari 15,8 juta meter kubik per tahun. "Padahal, kemampuan produksi hutan alam saat itu hanya sekitar 1,1 juta meter kubik per tahun," tuturnya.

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Johny Mundung, mengatakan, pemerintah harus mengeluarkan moratorium penebangan hutan alam yang tersisa. "Biarkan hutan bernapas dulu sekitar 35 tahun, dengan menghentikan perambahan hutan," tuturnya.

Susanto Kurniawan dari Yayasan Elang menambahkan, pada tahun 2004 hutan yang masih tersisa di tiap daerah aliran sungai rata-rata sekitar 30 persen. Dia mencontohkan, di Sungai Indragiri, hanya 807.556 hektar hutan yang tersisa atau 32,6 persen dari luas hutan yang ada. (ART)

Hutan Riau Tidak Memadai untuk Industri Laporan Wartawan Kompas Agnes Rita Sulistyawaty

PEKANBARU, KOMPAS - Tiga LSM yakni Walhi Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), dan Yayasan Elang, Kamis (11/1), mendesak pemerintah untuk menghentikan industri yang berbasis lahan.

Raflis dari Jikalahari mengatakan dari citra satelit 2005, hutan alam lahan kering di Riau diperkirakan tersisa 1,057 hektar saja. Sedangkan, hutan alam lahan basah atau hutan gambut yang tersisa sekitar 1,937 hektar. Sampai tahun 2000, terdapat 312 unit industri kehutanan yang beroperasi di Riau. Kapasitas produksi seluruhnya 4,9 juta ton per tahun.
kayu yang dibutuhkan untuk seluruh industri itu tidak kurang dari 15,8 juta meter kubik per tahun. “Padahal, kemampuan produksi hutan alam saat itu hanya sekitar 1,1 juta meter kubik per tahun,” tuturnya.

Johny Mundung, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengatakan pemerintah perlu bersikap tegas dengan mengeluarkan moratorium penebangan hutan alam yang tersisa. “Biarkan hutan bernafas dulu sekitar 35 tahun, dengan menghentikan perambahan hutan,” tuturnya.

Susanto Kurniawan dari Yayasan Elang menambahkan, hutan yang masih tersisa di setiap daerah aliran sungai rata-rata sekitar 30 persen, pada tahun 2004. Di Sungai indragiri, hutan yang tersisa 807.556 hektar atau 32,6 persen dari luas hutan di sepanjang aliran sungai ini.

Kondisi serupa terjadi di Sungai kampar yang menyisakan 934.336 hektar hutan atau 37,9 persen dari total hutan. Di sungai rokan, hutan yang tersisa 621.448 hektar atau 36,9 persen, dan 913.628 hektar atau 40,8 persen di sungai siak. Di keempat sungai itulah, banjir terjadi di Provinsi Riau.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Rum 41)

Akhir akhir ini sering terjadi bencana alam yang melanda kota, desa dan kampung, merusak bangunan, harta benda bahkan meminta korban jiwa yang tidak sedikit. Tanah longsor, banjir bandang, sungai meluap, kebakaran hutan, kekeringan dan lain sebagainya. Jika diteliti ternyata semua bencana itu bersumber dari ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab.

Penebangan pohon dihutan yang semena mena mengakibatkan hutan jadi gundul dan gersang. Ketika hujan turun tidak ada lagi pohon yang menahan air hujan. Dahulu semua air yang turun ditahan oleh pepohonan, kemudian meresap dan disimpan didalam tanah. Sekarang tidak ada lagi pepohonan yang menahan air hujan, air terus meluncur kesungai mengalir deras menuju laut. Sungai yang ada tidak mampu menampung luapan air , akibatnya terjadilah banjir di mana mana. Penebangan pohon dengan semena mena oleh segelintir orang telah menimbulkan kerusakan dan bencana berkepanjangan. Musim hujan terjadi banjir dimana mana. Musim panas terjadi kekeringan dan kesulitan mendapatkan air bersih.






kebakaran hutan Indonesia menjadi ancaman global Greenpeace menuntut pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan konversi hutan gambut Indoneisa terbakar lagi. Asap dari api yang dinyalakan untuk membuka lahan di Kalimantan Selatan (Borneo) dan Sumatera menyebabkan tingkat polusi di Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok meningkat, menyebabkan munculnya masalah kesehatan yang berkaitan dengan asap, kecelakaan lalu lintas, dan biaya ekonomi yang menyertainya. Negara-negara tetangga pun kembali menuntut adanya tindakan namun pada akhirnya tetap saja kebakaran akan berlangsung hingga datangnya musim hujan. Kebakaran ini - dan asap yang mencekik - telah menjadi peristiwa tahunan di Indonesia. Beberapa tahun lebih buruk dari tahun-tahun yang lain - terutama saat kondisi el Nino yang kering mengubah hutan kawasan ini menjadi sangat mudah terbakar - tapi keseluruhan trend ini tidaklah baik.

Kesalahan seharusnya ditimpakan pertama kali pada pemerintah Indonesia atas kegagalan sistematis untuk menggalakkan hukum yang didesain untuk mengurangi tingkat penggundulan hutan yang mengejutkan di negara ini. Sejak 1990, angka-angka resmi telah menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan seperempat dari keseluruhan luas hutannya. Berkurangnya hutan-hutan primer itu menjadi lebih buruk: hampir 31 persen dari hutan tua kepulauan ini telah jatuh ke tangan penambang dan pengembang lahan pada periode yang sama. Bahkan, tingkat penggundulan hutan ini tidak melambat. Berkurangnya hutan dalam satu tahun telah meningkat hingga 19 persen sejak akhir 1990an, sementara setiap tahunnya berkurangnya hutan primer telah meluas hingga 26 persen. Statistik ini seharusnya menjadi sesuatu yang memalukan bagi Indonesia dan bukti ketidakmampuan pemerintah mengatasi berkurangnya hutan dan ketidakmampuan dalam menanggulangi kroni dan korupsi.

Berkurangnya hutan di Indonesia

Penyebab langsung berkurangnya hutan di Indonesia tidaklah kompleks. Kebanyakan penggundulan hutan adalah akibat dari penebangan hutan dan pengubahan hutan menjadi pertanian. Saat ini Indonesia menjadi eksportir kayu tropis terbesar di dunia - suatu komoditas yang menghasilkan hingga 5 milyar USD tiap tahunnya - dan produsen minyak kelapa terbesar kedua, salah satu dari minyak sayur paling produktif di dunia, digunakan di apa pun mulai dari biskuit hingga biofuel.

Penebangan kayu secara legal berdampak pada 700.000-850.000 hektar hutan setiap tahunnya di Indonesia, namun penebangan hutan ilegal yang telah menyebar meningkatkan secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar, dan mungkin lebih tinggi - di tahun 2004, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan bahwa 75 persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada larangan resmi untuk mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya diselundupkan ke Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa perkiraan, Indonesia kehilangan pemasukan sekitar 1 milyar dollar pertahun dari pajak akibat perdagangan gelap ini. Penambangan ilegal ini juga merugikan bisnis kayu yang resmi dengan mengurangi suplai kayu yang bisa diproses, serta menurunkan harga internasional untuk kayu dan produk kayu. Penebangan hutan di Indonesia telah membuka beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang, di dunia pada pembangunan. Setelah berhasil menebangi banyak hutan di daerah yang tidak terlalu terpencil, perusahaan-perusahaan kayu ini lantas memperluas praktek mereka ke pulau Kalimantan dan Irian Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak petak-petak hutan telah dihabisi. Sebagai contoh, lebih dari 20 persen ijin penebangan di Indonesia berada di Papua, naik dari 7 persen di tahun 1990an.

Selain penebangan, pengubahan hutan untuk pertanian ukuran besar, terutama perkebunan kelapa sawit, telah menjadi kontributor penting bagi berkurangnya hutan di Indonesia. Kawasan kelapa sawit meluas dari 600.000 hektar di tahun 1985 menjadi lebih dari 5,3 juta hektar di tahun 2004. Pemerintah berharap kondisi ini akan berlipat ganda dalam waktu satu dekade dan, melalui program transmigrasi, telah mendorong para petani untuk mengubah lahan hutan liar menjadi perkebunan. Karena cara termurah dan tercepat untuk membuka lahan perkebunan adalah dengan membakar, upaya ini justru memperburuk kondisi: setiap tahun ratusan dari ribuan hektar are berubah menjadi asap saat pengembang dan agrikulturalis membakar kawasan pedalaman sebelum musim hujan datang di bulan Oktober atau November. Kegagalan pemerintah

Walau Indonesia memiliki hukum untuk melindungi hutan dan membatasi pembakaran pertanian, mereka diterapkan dengan sangat buruk. Manajemen hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi. Petugas pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya usahawan tanpa reputasi baik dan politisi licik, ini berarti larangan penebangan hutan liar yang tak dijalankan, penjualan spesies terancam yang terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman nasional yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman penjara yang tak pernah ditimpakan. Korupsi, dikombinasikan dengan kroniism yang muncul pada masa mantan Presiden Jendral Soeharto (Suharto), telah beberapa kali merusak upaya mengendalikan kebakaran hutan: 1997, negara ini tak dapat menggunakan dana spesial reboisasi non-bujeter mereka untuk melawan kebakaran karena dana tersebut telah dialokasikan untuk proyek mobil yang gagal milik anak diktator tersebut. Saat ini pemerintah masih menolak untuk menghukum mereka yang melanggar hukum yang melarang menggunakan api untuk membuka lahan. Ini waktunya bagi pemerintah Indonesia untuk mulai serius menangani penggundulan hutan dan kebakaran yang kerap terulang. Komitmen politis adalah kuncinya - tanpanya, sumbangan-sumbangan uang dalam jumlah besar akan terus dihamburkan tanpa menghentikan penebangan hutan ilegal dan berkurangnya hutan.

Pemerintah sebaiknya meratifikasi Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Antar Negara, konvensi yang ditandatangani pada tahun 2002 menindaklanjuti kebakaran hutan tahun 1997-1998. PErjanjuan ini membutuhkan kerjasama multinasional untuk melawan kebakaran di kawasan tersebut. Meratifikasi perjanjian itu akan menjadi sinyal awal komitmen politis terhadap permasalahan yang ada, namun pemerintah kemudian harus melanjutkannya dengan implementasi dan inisiatif 'good governance', seperti menerapkan larangan pembakaran lahan dengan ketat. Tanpa penerapan ini, hukum tak akan ada gunanya. Indonesia tak akan lagi dapat mengabaikan aktifitas kriminal dengan kepentingan kuat. Sebagai contoh, Indonesia perlu untuk menindaklanjuti permintaan Malaysia untuk menuntut perusahaan-perusahaan Malaysia yang terlibat dalam pembakaran hutan di Kalimantan Selatan dan Sumatera. Perusahaan yang terbukti bertanggungjawab atas pembakaran ilegal, tak peduli dimana mereka berada, akan kehilangan ijin usahanya dan petugas-petugasnya di penjara.

Saat kebakaran berkurang musim dingin ini, Indonesia seharusnya menyelidiki kemungkinan yang ditawarkan oleh pasar karbon yang muncul ini yang dapat memberikan pemasukan bagi negara dengan melindungi hutan dari pengembangan. Inovasi strategis lain - dari sertifikasi agrikultural dan kayu yang komprehensif hingga sponsor oleh pihak swasta untuk konservasi hutan - seharusnya juga tidak dilupakan. Tim Greenpeace baru-baru ini menyaksikan dampak kebakaran hutan yang berkobar lagi di Propinsi Riau walau sudah ada janji-janji dari pihak pemerintah untuk menghentikan bencana tahunan tersebut agar tidak terulang kembali. Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat (1) dan hal ini sebagian besar disebabkan oleh deforestasi, konversi lahan dan kebakaran hutan.

"Siklus terjadinya kebakaran hutan terus menerus serta pengrusakan hutan di Indonesia harus mulai dianggap sebagai masalah global karena negara kita merupakan penyumbang besar terhadap perubahan iklim dunia. Pemerintah harus mengambil langkah lebih berani untuk mencegah masalah ini dengan pertama-tama mendeklarasikan moratorium atas penghancuran dan konversi hutan gambut secara nasional,” kata Hapsoro, Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara. Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) telah menyoroti Indonesia, setelah mengungkapkan bahwa 50 persen dari potensi mitigasi perubahan iklim dunia dapat dicapai dengan mengurangi emisi yang disebabkan oleh deforestasi (2). Indonesia memiliki kawasan hutan alam asli (intact ancient forests) terbesar di Asia namun kawasan tersebut mengalami laju kehancuran lebih cepat dari wilayah lain di dunia.

Hasil dokumentasi lapangan Greenpeace di Riau menemukan hubungan erat antara kebakaran hutan dan konversi lahan hutan gambut oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di propinsi tersebut. Data satelit juga mengungkapkan korelasi yang kuat antara kebakaran hutan dan perkebunan-perkebunan yang beroperasi di wilayah itu. Kombinasi antara konversi lahan gambut dan kebakaran hutan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup secara global akibat besarnya jumlah karbon dioksida (CO2) yang terlepas ke atmosfir sehingga makin memperburuk iklim.

“Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan antar-pemerintah terpenting di Bali Desember nanti yang akan membahas isu perubahan iklim. Kami berharap pemerintah akan mengambil kesempatan ini untuk menunjukkan perannya dalam usaha dunia mencegah krisis global ini. Selain mencari dukungan komunitas internasional, pemerintah juga harus menunjukkan itikad baiknya dengan cara menghentikan kehancuran hutan gambut lebih jauh. Pemerintah juga harus menegakkan hukum yang berlaku terhadap perusahaan dan perkebunan kelapa sawit yang melanggar dan secara sengaja menyulut api untuk membuka lahannya,” tambah Hapsoro.

Greenpeace adalah organisasi kampanye independen yang menggunakan konfrontasi kreatif dan tanpa kekerasan untuk mengungkap masalah lingkungan hidup dan mendorong solusi yang diperlukan untuk masa depan yang hijau dan damai.




Random post

BACA JUGA