Fenomena
Kerusakan Hutan Indonesia
Fenomena yang terjadi kebakaran hutan di Indonesia, tidak hanya
membahayakan untuk mahluk sekitarnya, tapi juga mendatangkan kerugian yang
tidak sedikit. "Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-98,
diestimasikan sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan
kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika. Kejadian ini
sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton
karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan
dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap
perubahan iklim dan pemanasan global. Penyebab utama dari kebakaran hutan dan
lahan adalah ulah manusia yang menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan dan
lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dan lain-lain.
Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi "tradisi"
tahunan di Indonesia terutama setiap kali musim kemarau datang. Pada kejadian
kebakaran berskala besar di tahun 1997-98, diestimasikan sekitar 10 juta hektar
lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3
milyar dollar Amerika. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca
(GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total
emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang
berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.
Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama
oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti
gajah, harimau dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi
karena terganggunya jadwal penerbangan dan juga masyarakat secara keseluruhan
yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran.
Tercatat sekitar 70 juta orang di enam Negara di lingkup ASEAN terganggu
kesehatannya karena menghirup asap yang diekspor dari kebakaran di Indonesia
pada tahun 1997-98.
Penyebab utama dari kebakaran hutan dan lahan adalah ulah manusia yang
menggunakan api dalam upaya pembukaan hutan dan lahan untuk hutan tanaman
industri/HTI, perkebunan, pertanian, dll (lihat Gambar 1). Selain itu,
kebakaran diperparah akibat meningkatnya pemanasan global itu - kemarau ekstrim,
yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim El Niño, memberikan kondisi
ideal untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Setiap tahunnya dalam musim
kemarau, hampir berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang
dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan
terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh
konversi hutan di lahan gambut.
Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-98, rata-rata 80%
kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis
WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas
kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut
sedangkan di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% hotspots
(titik panas) terjadi di lahan gambut. Data terakhir berdasarkan pantauan
koalisi LSM di Riau, Eyes on the Forest, antara 1-31 Juli 2006, terdapat 56%
titik panas yang ditemukan di Provinsi Riau, terdapat pada lahan gambut. Pada
periode yang sama, hampir 30% dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan
Barat juga terdapat pada tanah gambut.
Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan
karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim
sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan
pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta ha lahan gambut yang
terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta ha) dan Kalimantan. Pondasi
utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan
gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut
yang seperti spons (menyerapair), maka pada saat pohon ditebang dan lahannya
dibuka, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik
tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini,
terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan
terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi
karbon lebih lanjut.
Menurut Data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di
Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan
lahan gambut dibiarkan apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka
dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan
global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi sekaligus dampak
ikutan seperti sap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap
tahunnya. Untuk itu, WWF-Indonesia menghimbau pihak pemerintah, swasta dan
masyarakat luas untuk bersama-sama berbuat mencegah kejadian kebakaran hutan
dan lahan terutama:
1.
Pembukaan
lahan gambut harus dihentikan dan semua lahan gambut harus dilindungi dan
dikelola secara seksama dengan memperhatikan tata hidrologi secara makro dan
potensi lepasnya emisi karbon ke atmosfer.
2. Sektor swasta harus menerapkan praktek
pengelolaan lestari dan bertanggung jawab, termasuk meniadakan pembakaran lahan
dan melindungi daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman hayati disekitar
konsesi mereka.
3. Harus ada mekanisme terpadu untuk
mengkoordinasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, mensinergikan dan
menerapkan peraturan terutama terkait perlindungan lingkungan.
4.
Masyarakat
setempat harus diberdayakan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaan
lahan yang lestari, terutama membantu petani/pekebun skala kecil dalam proses
transfer ilmu dan teknologi untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar.
Catatan :
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya
sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia
yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya
penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode
1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000
menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah
satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia
berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta
hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam
kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003]. "
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian
besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana,
baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor" Hutan Indonesia
Menjelang Kepunahan Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih
tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang
menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies
burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian dianataranya adalah endemik
atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya
sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia
yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya
penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode
1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000
menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah
satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia
berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta
hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam
kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].
Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa
diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan
hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total
Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %.
Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar
meter kubik setiap tahunnya.
Dampak
Kerusakan HutaN
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian
besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana,
baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga
pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia
dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana
tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan
[Bakornas penanggulangan Bencana, 2003].
Selain itu, Indonesia juga akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan
yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan
Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia.
Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi
tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di
Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan.
Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin
tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia, dan sebagian masyarakat miskin
di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan.
Apa hanya
itu?
Hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap
karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini. Fungsi hutan
sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan
hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi
kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan.
Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian
masyarakat.
Mengapa
Hutan Kita Rusak?
Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat
tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak
terkendali dan merusak, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat
luas, serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan hutan.
Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan hutan
yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka. Dan hal
ini juga diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan
dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras habis untuk kepentingan pribadi
dan kelompok.
Bagaimana
itu terjadi?
Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah dimulai sejak
akhir tahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan
penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun
1970. Dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman
industri di tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land clearing). Selain
itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala
besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan
transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan.
Di tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah
membagi-bagikan kawasan hutannya kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak
pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi peningkatan aktivitas
penebangan hutan tanpa ijin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang
dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.
Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Indonesia melalui keputusan bersama Departemen
Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah
mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan
baku serpih. Dan di tahun 2003, Departemen Kehutanan telah menurunkan
jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi
6,8 juta meter kubik setahun dan akan diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7
juta meter kubik setahun. Pemerintah juga telah membentuk Badan Revitalisasi
Industri Kehutanan (BRIK) yang bertugas untuk melakukan penyesuaian produksi
industri kehutanan dengan ketersediaan bahan baku dari hutan. Selain itu,
Pemerintah juga telah berkomitmen untuk melakukan pemberantasan illegal logging
dan juga melakukan rehabilitasi hutan melalui Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(GNRHL) yang diharapkan di tahun 2008 akan dihutankan kembali areal seluas tiga
juta hektar.
Hasil
Yang Diperoleh apakah maksimal ?
Sayangnya Pemerintah masih menjalankan itu semua sebagai sebuah ucapan
belaka tanpa adanya sebuah realisasi di lapangan. Hingga tahun 2002 masih
dilakukan ekspor kayu bulat yang menunjukkan adanya pelanggaran dari kebijakan
pemerintah sendiri. Dan pemerintah masih akan memberikan ijin pengusahaan hutan
alam dan hutan tanaman seluas 900-an ribu hektar kepada pengusaha melalui pelelangan.
Pemerintah juga belum memiliki perencanaan menyeluruh untuk memperbaiki
kerusakan hutan melalui rehabilitasi, namun kegiatan tersebut dipaksakan untuk
dilaksanakan, yang tentunya akan mengakibatkan terjadinya salah sasaran dan
kemungkinan terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan.
Hal yang terpenting dan belum dilakukan pemerintah saat ini adalah
menutup industri perkayuan Indonesia yang memiliki banyak utang. Pemerintah
juga belum menyesuaikan produksi industri dengan kemampuan penyediaan bahan
baku kayu bagi industri oleh hutan. Hal ini dapat mengakibatkan kegiatan
penebangan hutan tanpa ijin akan terus berlangsung.
Dan dengan hanya menurunkan jatah tebang tahunan, maka kita masih belum
bisa membedakan mana kayu yang sah dan yang tidak sah. Bila saja pemerintah
untuk sementara waktu menghentikan pemberian jatah tebang, maka dapat
dipastikan bahwa semua kayu yang keluar dari hutan adalah kayu yang tidak sah
atau illegal, sehingga penegakan hukum bisa dilakukan.
Apa yang
seharusnya dilakukan?
Untuk menghentikan kerusakan hutan di Indonesia, maka pemerintah harus
mulai serius untuk tidak lagi mengeluarkan ijin-ijin baru pengusahaan hutan,
pemanfaatan kayu maupun perkebunan, serta melakukan penegakan hukum terhadap
pelaku ekspor kayu bulat dan bahan baku serpih. Pemerintah juga harus melakukan
uji menyeluruh terhadap kinerja industri kehutanan dan melakukan penegakan
hukum bagi industri yang bermasalah. Setelah tahapan ini, perlu dilakukan
penataan kembali kawasan hutan yang rusak dan juga menangani dampak sosial
akibat penghentian penebangan hutan, misalkan dengan mempekerjakan pekerja
industri kehutanan dalam proyek penanaman pohon.
Kemudian, bila telah tertata kembali sistem pengelolaan hutan, maka
pemberian ijin penebangan kayu hanya pada hutan tanaman atau hutan yang
dikelola berbasiskan masyarakat lokal. Selama penghentian sementara
[moratorium] dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara
mengimpor bahan baku kayu. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis
kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia. Dan
yang terpenting adalah mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan hutan,
karena rakyat Indonesia sejak lama telah mampu mengelola hutan Indonesia.
Dapatkah individu membantu?
Dapatkah individu membantu?
Ya, dengan melakukan lobby, menulis surat ataupun melakukan tekanan
kepada pemerintah agar serius menjaga hutan Indonesia yang tersisa. Selain itu,
lakukan pengawasan terhadap peredaran kayu di wilayah terdekat, dan berikan
laporan kepada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terdekat ataupun
lembaga non pemerintah lainnya dan kepada instansi penegak hukum, serta media
massa, bila menemukan terjadinya peredaran kayu tanpa ijin maupun kegiatan
pengrusakan hutan. Dan mulailah menanam pohon untuk kebutuhan kayu keluarga di
masa datang, memanfaatkan kayu dengan bijak dan tidak lagi membeli kayu-kayu
hasil penebangan yang merusak hutan.
Kebakaran
Hutan Terbesar di Dunia
BELUM pernah ada polusi asap di sepanjang sejarah dunia sebesar yang
dihasilkan kebakaran hutan di Indonesia tahun 1997/1998. Kebakaran hutan tahun
1997/ 1998 memang paling besar jika dibandingkan dengan peristiwa kebakaran
yang pernah terjadi sebelumnya.
Tahun 1997, kebakaran hanya 263.992 hektar hutan di 25 provinsi, terdiri dari hutan tanaman industri (HTI), hutan sekunder, dan padang alang-alang. Tahun 1998 ini kebakaran hutan seluas 520.000 hektar melanda Kaltim, Aceh, Sumut, Sumsel, Riau, Sulut, Kalteng, dan Maluku. Kebakaran di Kaltim terbesar pada areal HPH (315.132 hektar) dan HTI seluas 95.593 hektar.
Dari beberapa faktor dominan yang mempengaruhi kebakaran, seperti
sumber api, kegiatan pembukaan lahan, faktor sosial, budaya dan ekonomi, curah
hujan, dan keterjangkauan wilayah daerah rawan kebakaran menjadi I hingga IV.
Kebakaran terbesar tahun 1998 yang terjadi di Kalimantan Timur menimbulkan
kerugian sekitar Rp 10 trilyun.
Data dari Ringkasan Eksekutif Kantor Menteri Lingkungan Hidup menggambarkan, dilihat dari jenis hutan dan lahan yang terbakar tahun 1998, memperkuat asumsi bahwa penyebab utama kebakaran adalah pembukaan lahan secara besar-besaran. Dari 507.239,5 hektar hutan dan lahan yang terbakar tahun 1998, sebagian besar yaitu 315.132 hektar adalah lahan HPH. Lahan/ladang masyarakat yang terbakar hanya 1.857 hektar dan kebun masyarakat 10.758 hektar. Sisanya adalah lahan hutan, terutama hutan Taman Nasional Kutai.
Kebakaran tahun 1998 di Kaltim tidak hanya akibat kemarau panjang (El Nino), tetapi juga karena sikap dan kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi cuaca masih rendah. Akibat El Nino yang masih kuat, sebagian Kaltim, terutama kawasan Kabupaten Kutai, belum mendapatkan hujan sejak Desember tahun 1997. Mengetahui bahwa hujan telah jatuh di provinsi lain, masyarakat Kaltim mulai membakar lahan untuk berbagai aktivitas, tanpa menyadari bahwa El Nino di daerah mereka belum berakhir.
Data dari Ringkasan Eksekutif Kantor Menteri Lingkungan Hidup menggambarkan, dilihat dari jenis hutan dan lahan yang terbakar tahun 1998, memperkuat asumsi bahwa penyebab utama kebakaran adalah pembukaan lahan secara besar-besaran. Dari 507.239,5 hektar hutan dan lahan yang terbakar tahun 1998, sebagian besar yaitu 315.132 hektar adalah lahan HPH. Lahan/ladang masyarakat yang terbakar hanya 1.857 hektar dan kebun masyarakat 10.758 hektar. Sisanya adalah lahan hutan, terutama hutan Taman Nasional Kutai.
Kebakaran tahun 1998 di Kaltim tidak hanya akibat kemarau panjang (El Nino), tetapi juga karena sikap dan kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi cuaca masih rendah. Akibat El Nino yang masih kuat, sebagian Kaltim, terutama kawasan Kabupaten Kutai, belum mendapatkan hujan sejak Desember tahun 1997. Mengetahui bahwa hujan telah jatuh di provinsi lain, masyarakat Kaltim mulai membakar lahan untuk berbagai aktivitas, tanpa menyadari bahwa El Nino di daerah mereka belum berakhir.
Berdasarkan data kebakaran hutan dari tahun 1984 sampai dengan 1997,
serta analisis kebakaran hutan dan lahan tahun 1998, terlihat bahwa Pulau
Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya tidak mengalami kebakaran sesering Sumatera,
Kalimantan, dan Jawa.
Kemungkinan besar tingkat konversi lahan di Indonesia bagian timur
tidak setinggi di Indonesia bagian barat. Perubahan ekologi di Indonesia bagian
timur belum seserius seperti di Indonesia bagian barat. Kecuali data statistik
daerah Riau menunjukkan, provinsi itu tidak mengalami kebakaran, hanya tahun
1984, 1993, dan 1995.
PENGAMAT pembangunan kehutanan Ir Titus Sarijanto melihat, selama taraf
hidup petani masih seperti sekarang ini, sementara lahan yang tersedia cukup
luas, maka pembakaran dalam penyiapan lahan yang menghasilkan asap masih tetap
akan terjadi. Karena itu, petani harus didorong agar mampu atau sejahtera
sehingga mereka mampu melaksanakan pertanian sepanjang tahun dengan cara intensif.
Bila petani lahan kering ini mampu melaksanakan pertanian sepanjang
tahun dengan cara intensif, di mana lahan tidak sempat ditumbuhi semak belukar,
maka tidak perlu lagi membakar semak-semak dalam mempersiapkan penanaman.
Pertanian intensif berarti pengolahan lahannya juga intensif dengan
pemupukan. Hal itu berarti petani harus mampu membeli pupuk dan mampu mengolah
lahan dengan baik. Bila lahannya lebih dari dua hektar, berarti harus mampu
memakai mesin. Oleh karena itu, petani harus didorong agar mampu atau sejahtera
supaya bisa melaksanakan pengolahan lahan secara intensif.
Titus Sarijanto yang juga alumnus Fakultas Hutan Institut Pertanian
Bogor itu menjelaskan, jika petani telah memiliki kebun atau hutan tanaman
cukup luas, sehari-hari mereka akan sibuk mengurus kebun atau hutan tanamannya.
Di Malaysia Timur, Sarawak dan Sabah, ungkap Titus, ada juga asap,
tetapi petani tradisional di sana tidak banyak. Mereka sudah banyak yang dapat
mempraktikkan pertanian modern tanpa bakar, karena sebagian besar mereka telah
mampu membiayai penyiapan tanaman dengan mesin atau mekanis. Kalaupun ada
pembakaran, sebagian besar sudah mampu melaksanakan pembakaran terkendali
sehingga tidak merembet ke luar lahannya.
Untuk membuat petani di luar Jawa menjadi petani modern, pemerintah
sebenarnya dapat memanfaatkan peran swasta. "Swasta dapat menjalin kerja
sama dengan petani, misalnya dalam pembuatan/pembangunan hutan tanaman industri
atau hutan rakyat," kata Titus. Sebab, swasta berkepentingan memperoleh bahan
baku bagi industrinya, sedangkan petani berkepentingan memperoleh penghasilan
dari produksi kayu secara terus-menerus.
"Pemerintah sebenarnya cukup menyediakan lahan atau kawasan hutan
yang rusak, sementara modalnya dapat dibantu oleh swasta atau pemerintah dengan
dana reboisasi," ujarnya seraya menunjuk contoh-contoh perusahaan yang
telah melaksanakan program itu di Kalimantan.
Begitu juga di bidang perkebunan, kredit dapat disediakan untuk petani
dengan jaminan dari swasta yang menjadi "bapak angkatnya". Yang harus
dilakukan pemerintah adalah menciptakan sistem yang bersifat saling
menguntungkan, terutama menyangkut perhitungan persentase harga komoditas bahan
baku terhadap harga komoditas setelah diolah.
Titus menambahkan, swasta juga harus mampu memanfaatkan kayu-kayu kecil
hasil pembersihan lahan, agar menghindari kecenderungan pembakaran.
Perusahaan-perusahaan yang dapat memanfaatkan kayu-kayu kecil ini adalah
perusahaan industri pulp atau chip (potongan kayu).
Tentunya masing-masing organisasi diatas memiliki KEPENTINGAN
tersendiri (ekonomi, politik,..),terlepas dari berbagai kepentingan tersebut ,
saya mencoba membahas tentang masalah
ini dari segi TEKNIK!! Menurut saya, yang lebih penting sekarang adalah, bagaimana
caranya memadamkan kebakaran yang terjadi, sehingga tidak sampai berlarut-larut
dan memakan kerugian jiwa maupun materi yang besar!!
Apa itu
kebakaran hutan dan lahan?
Kebakaran hutan dan lahan adalah sebuah kejadian terbakarnya kawasan
hutan/lahan baik dalam luasan yang besar maupun kecil. Kebakaran hutan dan
lahan seringkali tidak terkendali dan bila ini terjadi maka api akan melahap
apa saja dihadapannya mengikuti arah angin. Kebalikannya, penyebaran api
kebakaran di lahan gambut justru tidak mengikuti arah angin. Titik api justru
berada dikedalaman lebih dari 2 meter. Pada kawasan gambut rembetan api akan
meluas kesegala arah dan sulit untuk diperkirakan penyebarannya.
Mengapa
terjadi kebakaran hutan/lahan ?
Kebakaran terjadi karena dua hal: karena ulah manusia baik disengaja
maupun tidak disengaja dan karena terbakar dengan sendirinya. Kebakaran dengan
sendirinya juga tidak disembarang tempat. Kebakaran dengan sendirinya hanya
terjadi pada daerah yang tanahnya mengandung batubara. Pada daerah lain
mustahil terjadi kebakaran dengan sendirinya. Hal ini disebabkan jenis hutan
alam di Indonesia yang masuk dalam kategori Hutan Tropis (tropical Forest) atau
Hutan Hujan Basah (Rain Forest) sehingga lantai hutan selalu dalam keadaan
basah/lembab.
Untuk unsur kesengajaan, manusia sengaja melakukannya untuk membuka dan
membersihkan lahan. Pembakaran hutan dalam waktu singkat juga diyakini dapat
meningkatkan kesuburan tanah. Pada beberapa kelompok masyarakat yang masih
memiliki kearifan tradisional, pembakaran hutan dilakukan sebulan sebelum musim
penghujan. Hal ini diperlukan karena hutan/lahan yang terbakar dalam waktu yang
lama malah justru menghilangkan kesuburan tanah.
Untuk unsur ketidak sengajaan biasanya terjadi pada musim kemarau
panjang. Dalam musim kemarau, sebatang rokok yang dibuang kesemak yang kering
akan mampu menimbulkan api apabila angin bertiup perlahan. Bekas api unggun
yang tidak mati dengan sempurna juga mampu memicu terjadinya kebakaran
hutan/lahan.
Yang
dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan !
Untuk
setiap hektar kebakaran hutan/lahan maka akan dihasilkan:
-
18,9 hingga 702 Karbon dioksida
-
1,5 sampai 11,5 Karbon monoksida
-
0,000009 sampai 0,000035 ton Bahan-bahan partikulat
-
0,4 sampai 2,6 juta ton ozon
-
0,0000009 ton amonia
-
0,33 juta ton oksida nitrogen
Benda-benda tersebut diatas sangat berbahaya apabila dihirup oleh
manusia. Penyakit yang bisa ditimbulkan diantaranya Infeksi Saluran Pernafasan
Akut, Bronchitis dan Diare.
Dampak
kebakaran hutan/lahan Dampak terhadap sosial budaya dan ekonomi:
a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat dan terganggunya aktivitas sehari-hari.
b. Peningkatan jumlah hama.
c.
Terganggunya kesehatan: Brochitis, ISPA, diare dll.
Dampak
terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan.
a.
Hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna
b.
Terjadinya banjir di daerah yang hutan gambutnya terbakar
c.
Polusi udara dan air
d.
Pada jangka panjang dapat menurunkan kesuburan tanah
Secara fisika Tanah menjadi rusak dan terbuka sehingga ketika terjadi
hujan maka lapisan tanah teratas akan terbawa ke sungai dan mengendap disana
(sedimentasi). Lama kelamaan sungai menjadi dangkal sehingga ketika musim hujan
yang panjang akan menyebabkan banir
b.
Mempercepat proses penggerusan lapisan hara yang dibutuhkan tanaman untuk
tumbuh subur secara Kimia Terjadinya peningkatan keasaman tanah, Secara Biologi
Membunuh organisme tanah yang bermanfaat bagi upaya peningkatan kesuburan tanah.
Kerugian
dari kebakaran hutan/lahan.
a.
Hilangnya tegakan kayu hutan di hutan
b.
Hilangnya hasil hutan non kayu sperti karet, damar, rotan dll
c.
Hilangnya tumbuhan maupun bibit yang bermanfaat bagi manusia, misalnya tanaman
obat dll.
d.
Hilangnya tempat berekreasi
e.
Hilangnya fungsi penyediaan air bagi pertanian
f.
Hilangnya flora dan fauna yang memperkaya pengetahuan manusia
g.
Mempercepat terjadinya perubahan iklim (climate change).
Pada ketinggian 10 km diatas bumi terdapat lapisan ozon yang tugasnya
melindungi bumi dari beberapa unsur cahaya matahari yang merusak. Ketiadaan
lapisan ozon akan membuat matahari menyinari bumi secara langsung dan
mengakibatkan kanker kulit pada manusia. Karbon yang terlepas ke udara dari
hasil kebakaran hutan/lahan akan menyebabkan lapisan ozon rusak sehingga bahan
berbahaya dari matahari akan sampai ke bumi tanpa halangan. Disamping itu,
karbon tersebut juga akan terperangkap di atas awan pada ketinggian 5 – 7 km.
Akibatnya, panas dari sinar matahari tidak dapat keluar dari bumi sehingga suhu
udara akan semakin bertambah. Suhu udara di bumi rata-rata bertambah 2 derajad
celcius setiap 10 tahun sejak 1980. hal ini terjadi salah satunya akibat
hilangnya hutan dan kebakaran hutan.
mencegah
kebakaran hutan dan lahan:
1.
Jangan
melakukan pembakaran untuk melakukan pembukaan lahan
2. Mintalah petunjuk kepada Dinas Kehutanan dan
Perkebunan maupun Dinas Pertanian setempat tentang tatacara pembukaan lahan
tanpa bakar. Bila dinas setempat tidak memilikinya, lakukan cara berikut ini:
a) Tebanglah pohon dan semak belukar pada lahan
yang ingin anda gunakan untuk berkebun,
b) Potong-potong/cacah pohon/ranting/semak
tersebut dan sebarkan kesekeliling lahan anda.
c) Jangan gunakan bahan kimia untuk mematikan
pohon/.semak. Dalam jangka panjang, penggunaan bahan kimia terus menerus akan
membuat tanah kehilangan kemampuan untuk beregenerasi (mengembalikan
kesuburan), akibatnya kebutuhan anda untuk pupuk dimasa mendatang akan semakin
bertambah.
d) Biarkan sisa semak dan pepohonan yang telah
anda cacah tersebut mengering selama lebih kurang sebulan. Bila memungkinkan siramlah
air kesegala penjuru lahan anda untuk membantu mempercepat proses pembusukan.
e)
Tanamlah
bibit anda disela-sela batang pohon/potongan ranting/ semak tersebut. Hal
tersebut sangat berguna sebagai pupuk bagi tanaman anda.
3.
Bangunlah
sumur di lahan anda sehingga anda tidak akan kesulitan mencari air seandainya
terjadi kebakaran yang tidak terkendali di lahan ataupun diluar lahan anda.
Jangan lupa agar kampung anda menyediakan setidaknya dua buah mesin robin untuk
menyedot dan menyemprotkan air ditambah selang sepanjang minimal 50 meter, dua
buah.
4. Bila memungkinkan, galilah parit disekeliling
lahan anda, minimal disekeliling rumah anda dengan dalam/lebar minimal 30/30
centimeter. Periksalah menjelang musim kemarau agar tidak terjadi pendangkalan.
Parit ini sangat berguna untuk mencegah api memasuki lahan/daerah rumah anda.
5. Ajak tetangga dan warga kampung anda untuk
membuat sistem peringatan sederhana apabila terjadi kebakaran. Kentongan
merupakan sarana yang paling murah untuk sebuah sistem peringatan. Pukulah
kentongan sebanyak mungkin apabila terjadi kebakaran hutan/lahan untuk
memperingatkan tetangga-tetangga anda.
Yang sebaiknya dilakukan jika terjadi kebakaran hutan dan lahan1. Pukulah kentongan untuk memberitahu tetangga dan atau warga kampung anda dan pemerintah daerah setempat.
Yang sebaiknya dilakukan jika terjadi kebakaran hutan dan lahan1. Pukulah kentongan untuk memberitahu tetangga dan atau warga kampung anda dan pemerintah daerah setempat.
Kebakaran liar, atau juga kebakaran hutan, kebakaran vegetasi,
kebakaran rumput, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di
alam liar, tetapi dapat juga memusnahkan rumah-rumah atau sumber daya pertanian.
Penyebab umum:termasuk petir sekecerobohan mansusia dan pembakaran lahan.
Berbagai organisasi lingkungan sedunia meminta Pemerintah Indonesia
menyelamatkan hutan rawa gambut di Sumatera. Pembalakan liar dan alih fungi
lahan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi ancamannya.
Penegasan itu disampaikan bersama oleh NGO Internasional, CAPPA, Robin
Wood dan Friends of Earth, Jikalahari dari Indonesia dalam siaran pers yang
diterima detikcom, Kamis (20/04/2006). Mereka menyatakan, salah satu hutan gambut
tropis terbesar di dunia berada di Sumatera.
Hutan bergambut itu diperkirakan akan segera hilang akibat penebangan
liar dan alih fungsi menjadi tanaman industri oleh perusahaan kertas APRIL dan
APP. Aktivis Jikalahari, Zulfahmi menjelaskan, semenanjung Kampar Provinsi Riau
masih memiliki lebih dari 400,000 hektar hutan rawa gambut.
Itu adalah salah satu hutan dataran rendah terbesar di Sumatera.
Kawasan ini merupakan habitat bagi Harimau Sumatera dan beberapa species yang
terancam punah. Karbon yang dikeluarkan akibat Kerusakan pada kawasan hutan
rawa berpengaruh terhadap perubahan iklim global.
“Hutan di Riau terus dirusak untuk memenuhi permintaan bubur kayu dan
perusahaan kertas APP dan APRIL,” kata Zulfahmi. Kedua perusahaan kertas
mengalihfungsikan lebih dari satu juta hektar hutan untuk pemenuhan bahan baku.
Dalam dua tahun terakhir APRIL telah menghabiskan 50,000 hektar hutan
rawa gambut di Kabupaten Pelalawan dan pembangunan jalan untuk mengakses
semenanjung Kampar. Studi dilakukan ProForest, selaku konsultan APRIL,
menyatakan perusahaan itu merusak keseimbangan “water level” dari rawa gambut
semenanjung Kampar.
Jalan yang membelah hutan bergambut itu, bisa merusak keseluruhan ekosistem rawa. Padahal sejak pertengahan tahun lalu, berbagai organisasi lingkungan sudah meminta pemerintah agar kawasan tersebut dijadikan Taman Nasional.
Jalan yang membelah hutan bergambut itu, bisa merusak keseluruhan ekosistem rawa. Padahal sejak pertengahan tahun lalu, berbagai organisasi lingkungan sudah meminta pemerintah agar kawasan tersebut dijadikan Taman Nasional.
“Hal itu penting untuk menghentikan beberapa aktifitas penebang liar
yang dilakukan masyarakat atau industri,” kata Rully Syumanda, forests
campaigner dari Friends of the Earth Indonesia.
Organisasi lingkungan ini menuntut pemerintah menghentikan segala
aktivitas penebangan kayu untuk kepentingan dua pabrik kertas di Riau.
“Sepanjang APRIL dan APP mengkonversi hutan alam, rekanan bisnis, pemerintah
dan NGO perlu membekukan hubungan mereka dengan perusahaan ini,” kata Jans
Witing dari RobinWood.
Perluasan industri harus dihentikan
Kerusakan
Hutan
Pekanbaru, Kompas - Pemerintah Provinsi Riau harus menghentikan
perluasan industri yang berbasis konversi hutan. Hilangnya hutan alam seluas
3,7 juta hektar antara 1982-2005 menyebabkan alam berada pada titik jenuh dan
tidak sanggup lagi mendukung sektor industri itu. Salah satu dampak yang paling
nyata dirasakan masyarakat adalah banjir yang setiap tahun semakin parah.
Demikian pernyataan bersama Walhi Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan
Riau (Jikalahari), dan Yayasan Elang, Kamis (11/1), di Pekanbaru.
Raflis dari Jikalahari mengatakan, dari citra satelit 2005, hutan alam
lahan kering diperkirakan tersisa 1,057 hektar. Sedang hutan alam lahan basah
atau hutan gambut yang tersisa sekitar 1,937 hektar. Sampai tahun 2000,
terdapat 312 unit industri kehutanan dengan kapasitas produksi mencapai 4,9
juta ton per tahun. Kayu yang dibutuhkan untuk seluruh industri itu tidak
kurang dari 15,8 juta meter kubik per tahun. "Padahal, kemampuan produksi
hutan alam saat itu hanya sekitar 1,1 juta meter kubik per tahun,"
tuturnya.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Johny Mundung, mengatakan, pemerintah
harus mengeluarkan moratorium penebangan hutan alam yang tersisa. "Biarkan
hutan bernapas dulu sekitar 35 tahun, dengan menghentikan perambahan
hutan," tuturnya.
Susanto Kurniawan dari Yayasan Elang menambahkan, pada tahun 2004 hutan
yang masih tersisa di tiap daerah aliran sungai rata-rata sekitar 30 persen.
Dia mencontohkan, di Sungai Indragiri, hanya 807.556 hektar hutan yang tersisa
atau 32,6 persen dari luas hutan yang ada. (ART)
Hutan Riau Tidak Memadai untuk Industri Laporan Wartawan Kompas Agnes
Rita Sulistyawaty
PEKANBARU, KOMPAS - Tiga LSM yakni Walhi Riau, Jaringan Kerja
Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), dan Yayasan Elang, Kamis (11/1), mendesak
pemerintah untuk menghentikan industri yang berbasis lahan.
Raflis dari Jikalahari mengatakan dari citra satelit 2005, hutan alam
lahan kering di Riau diperkirakan tersisa 1,057 hektar saja. Sedangkan, hutan
alam lahan basah atau hutan gambut yang tersisa sekitar 1,937 hektar. Sampai
tahun 2000, terdapat 312 unit industri kehutanan yang beroperasi di Riau.
Kapasitas produksi seluruhnya 4,9 juta ton per tahun.
kayu yang dibutuhkan untuk seluruh industri itu tidak kurang dari 15,8
juta meter kubik per tahun. “Padahal, kemampuan produksi hutan alam saat itu
hanya sekitar 1,1 juta meter kubik per tahun,” tuturnya.
Johny Mundung, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengatakan pemerintah
perlu bersikap tegas dengan mengeluarkan moratorium penebangan hutan alam yang
tersisa. “Biarkan hutan bernafas dulu sekitar 35 tahun, dengan menghentikan
perambahan hutan,” tuturnya.
Susanto Kurniawan dari Yayasan Elang menambahkan, hutan yang masih
tersisa di setiap daerah aliran sungai rata-rata sekitar 30 persen, pada tahun
2004. Di Sungai indragiri, hutan yang tersisa 807.556 hektar atau 32,6 persen
dari luas hutan di sepanjang aliran sungai ini.
Kondisi serupa terjadi di Sungai kampar yang menyisakan 934.336 hektar
hutan atau 37,9 persen dari total hutan. Di sungai rokan, hutan yang tersisa
621.448 hektar atau 36,9 persen, dan 913.628 hektar atau 40,8 persen di sungai
siak. Di keempat sungai itulah, banjir terjadi di Provinsi Riau.
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Rum 41)
Akhir akhir ini sering terjadi bencana alam yang melanda kota, desa dan
kampung, merusak bangunan, harta benda bahkan meminta korban jiwa yang tidak
sedikit. Tanah longsor, banjir bandang, sungai meluap, kebakaran hutan,
kekeringan dan lain sebagainya. Jika diteliti ternyata semua bencana itu
bersumber dari ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab.
Penebangan pohon dihutan yang semena mena mengakibatkan hutan jadi
gundul dan gersang. Ketika hujan turun tidak ada lagi pohon yang menahan air
hujan. Dahulu semua air yang turun ditahan oleh pepohonan, kemudian meresap dan
disimpan didalam tanah. Sekarang tidak ada lagi pepohonan yang menahan air
hujan, air terus meluncur kesungai mengalir deras menuju laut. Sungai yang ada
tidak mampu menampung luapan air , akibatnya terjadilah banjir di mana mana.
Penebangan pohon dengan semena mena oleh segelintir orang telah menimbulkan
kerusakan dan bencana berkepanjangan. Musim hujan terjadi banjir dimana mana.
Musim panas terjadi kekeringan dan kesulitan mendapatkan air bersih.
kebakaran hutan Indonesia menjadi ancaman global Greenpeace menuntut
pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan konversi hutan gambut Indoneisa
terbakar lagi. Asap dari api yang dinyalakan untuk membuka lahan di Kalimantan
Selatan (Borneo) dan Sumatera menyebabkan tingkat polusi di Singapura, Kuala
Lumpur, dan Bangkok meningkat, menyebabkan munculnya masalah kesehatan yang
berkaitan dengan asap, kecelakaan lalu lintas, dan biaya ekonomi yang
menyertainya. Negara-negara tetangga pun kembali menuntut adanya tindakan namun
pada akhirnya tetap saja kebakaran akan berlangsung hingga datangnya musim
hujan. Kebakaran ini - dan asap yang mencekik - telah menjadi peristiwa tahunan
di Indonesia. Beberapa tahun lebih buruk dari tahun-tahun yang lain - terutama
saat kondisi el Nino yang kering mengubah hutan kawasan ini menjadi sangat
mudah terbakar - tapi keseluruhan trend ini tidaklah baik.
Kesalahan seharusnya ditimpakan pertama kali pada pemerintah Indonesia
atas kegagalan sistematis untuk menggalakkan hukum yang didesain untuk
mengurangi tingkat penggundulan hutan yang mengejutkan di negara ini. Sejak
1990, angka-angka resmi telah menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan
seperempat dari keseluruhan luas hutannya. Berkurangnya hutan-hutan primer itu
menjadi lebih buruk: hampir 31 persen dari hutan tua kepulauan ini telah jatuh
ke tangan penambang dan pengembang lahan pada periode yang sama. Bahkan,
tingkat penggundulan hutan ini tidak melambat. Berkurangnya hutan dalam satu
tahun telah meningkat hingga 19 persen sejak akhir 1990an, sementara setiap
tahunnya berkurangnya hutan primer telah meluas hingga 26 persen. Statistik ini
seharusnya menjadi sesuatu yang memalukan bagi Indonesia dan bukti
ketidakmampuan pemerintah mengatasi berkurangnya hutan dan ketidakmampuan dalam
menanggulangi kroni dan korupsi.
Berkurangnya
hutan di Indonesia
Penyebab langsung berkurangnya hutan
di Indonesia tidaklah kompleks. Kebanyakan penggundulan hutan adalah akibat
dari penebangan hutan dan pengubahan hutan menjadi pertanian. Saat ini Indonesia
menjadi eksportir kayu tropis terbesar di dunia - suatu komoditas yang
menghasilkan hingga 5 milyar USD tiap tahunnya - dan produsen minyak kelapa
terbesar kedua, salah satu dari minyak sayur paling produktif di dunia,
digunakan di apa pun mulai dari biskuit hingga biofuel.
Penebangan kayu secara legal
berdampak pada 700.000-850.000 hektar hutan setiap tahunnya di Indonesia, namun
penebangan hutan ilegal yang telah menyebar meningkatkan secara drastis
keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar, dan mungkin lebih
tinggi - di tahun 2004, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan
bahwa 75 persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada
larangan resmi untuk mengekspor kayu dari Indonesia, kayu tersebut biasanya diselundupkan
ke Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari beberapa perkiraan,
Indonesia kehilangan pemasukan sekitar 1 milyar dollar pertahun dari pajak
akibat perdagangan gelap ini. Penambangan ilegal ini juga merugikan bisnis kayu
yang resmi dengan mengurangi suplai kayu yang bisa diproses, serta menurunkan
harga internasional untuk kayu dan produk kayu. Penebangan hutan di Indonesia
telah membuka beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang, di dunia pada pembangunan. Setelah berhasil
menebangi banyak hutan di daerah yang tidak terlalu terpencil,
perusahaan-perusahaan kayu ini lantas memperluas praktek mereka ke pulau
Kalimantan dan Irian Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak
petak-petak hutan telah dihabisi. Sebagai contoh, lebih dari 20 persen ijin
penebangan di Indonesia berada di Papua, naik dari 7 persen di tahun 1990an.
Selain penebangan, pengubahan hutan
untuk pertanian ukuran besar, terutama perkebunan kelapa sawit, telah menjadi
kontributor penting bagi berkurangnya hutan di Indonesia. Kawasan kelapa sawit
meluas dari 600.000 hektar di tahun 1985 menjadi lebih dari 5,3 juta hektar di
tahun 2004. Pemerintah berharap kondisi ini akan berlipat ganda dalam waktu
satu dekade dan, melalui program transmigrasi, telah mendorong para petani
untuk mengubah lahan hutan liar menjadi perkebunan. Karena cara termurah dan
tercepat untuk membuka lahan perkebunan adalah dengan membakar, upaya ini
justru memperburuk kondisi: setiap tahun ratusan dari ribuan hektar are berubah
menjadi asap saat pengembang dan agrikulturalis membakar kawasan pedalaman
sebelum musim hujan datang di bulan Oktober atau November. Kegagalan pemerintah
Walau Indonesia memiliki hukum untuk
melindungi hutan dan membatasi pembakaran pertanian, mereka diterapkan dengan
sangat buruk. Manajemen hutan di Indonesia telah lama dijangkiti oleh korupsi.
Petugas pemerintahan yang dibayar rendah dikombinasikan dengan lazimnya
usahawan tanpa reputasi baik dan politisi licik, ini berarti larangan
penebangan hutan liar yang tak dijalankan, penjualan spesies terancam yang
terlupakan, peraturan lingkungan hidup yang tak dipedulikan, taman nasional
yang dijadikan lahan penebangan pohon, serta denda dan hukuman penjara yang tak
pernah ditimpakan. Korupsi, dikombinasikan dengan kroniism yang muncul pada
masa mantan Presiden Jendral Soeharto (Suharto), telah beberapa kali merusak
upaya mengendalikan kebakaran hutan: 1997, negara ini tak dapat menggunakan
dana spesial reboisasi non-bujeter mereka untuk melawan kebakaran karena dana
tersebut telah dialokasikan untuk proyek mobil yang gagal milik anak diktator
tersebut. Saat ini pemerintah masih menolak untuk menghukum mereka yang
melanggar hukum yang melarang menggunakan api untuk membuka lahan. Ini waktunya
bagi pemerintah Indonesia untuk mulai serius menangani penggundulan hutan dan
kebakaran yang kerap terulang. Komitmen politis adalah kuncinya - tanpanya,
sumbangan-sumbangan uang dalam jumlah besar akan terus dihamburkan tanpa
menghentikan penebangan hutan ilegal dan berkurangnya hutan.
Pemerintah sebaiknya meratifikasi
Perjanjian ASEAN mengenai Polusi Asap Antar Negara, konvensi yang
ditandatangani pada tahun 2002 menindaklanjuti kebakaran hutan tahun 1997-1998.
PErjanjuan ini membutuhkan kerjasama multinasional untuk melawan kebakaran di
kawasan tersebut. Meratifikasi perjanjian itu akan menjadi sinyal awal komitmen
politis terhadap permasalahan yang ada, namun pemerintah kemudian harus
melanjutkannya dengan implementasi dan inisiatif 'good governance', seperti
menerapkan larangan pembakaran lahan dengan ketat. Tanpa penerapan ini, hukum
tak akan ada gunanya. Indonesia tak akan lagi dapat mengabaikan aktifitas
kriminal dengan kepentingan kuat. Sebagai contoh, Indonesia perlu untuk
menindaklanjuti permintaan Malaysia untuk menuntut perusahaan-perusahaan
Malaysia yang terlibat dalam pembakaran hutan di Kalimantan Selatan dan
Sumatera. Perusahaan yang terbukti bertanggungjawab atas pembakaran ilegal, tak
peduli dimana mereka berada, akan kehilangan ijin usahanya dan
petugas-petugasnya di penjara.
Saat kebakaran berkurang musim
dingin ini, Indonesia seharusnya menyelidiki kemungkinan yang ditawarkan oleh
pasar karbon yang muncul ini yang dapat memberikan pemasukan bagi negara dengan
melindungi hutan dari pengembangan. Inovasi strategis lain - dari sertifikasi
agrikultural dan kayu yang komprehensif hingga sponsor oleh pihak swasta untuk
konservasi hutan - seharusnya juga tidak dilupakan. Tim Greenpeace baru-baru
ini menyaksikan dampak kebakaran hutan yang berkobar lagi di Propinsi Riau walau
sudah ada janji-janji dari pihak pemerintah untuk menghentikan bencana tahunan
tersebut agar tidak terulang kembali. Indonesia merupakan penghasil emisi gas
rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat (1) dan
hal ini sebagian besar disebabkan oleh deforestasi, konversi lahan dan
kebakaran hutan.
"Siklus terjadinya kebakaran
hutan terus menerus serta pengrusakan hutan di Indonesia harus mulai dianggap
sebagai masalah global karena negara kita merupakan penyumbang besar terhadap perubahan
iklim dunia. Pemerintah harus mengambil langkah lebih berani untuk mencegah
masalah ini dengan pertama-tama mendeklarasikan moratorium atas penghancuran
dan konversi hutan gambut secara nasional,” kata Hapsoro, Juru Kampanye
Greenpeace Asia Tenggara. Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC)
telah menyoroti Indonesia, setelah mengungkapkan bahwa 50 persen dari potensi
mitigasi perubahan iklim dunia dapat dicapai dengan mengurangi emisi yang
disebabkan oleh deforestasi (2). Indonesia memiliki kawasan hutan alam asli
(intact ancient forests) terbesar di Asia namun kawasan tersebut mengalami laju
kehancuran lebih cepat dari wilayah lain di dunia.
Hasil dokumentasi lapangan
Greenpeace di Riau menemukan hubungan erat antara kebakaran hutan dan konversi
lahan hutan gambut oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di
propinsi tersebut. Data satelit juga mengungkapkan korelasi yang kuat antara
kebakaran hutan dan perkebunan-perkebunan yang beroperasi di wilayah itu.
Kombinasi antara konversi lahan gambut dan kebakaran hutan mengakibatkan
kerusakan lingkungan hidup secara global akibat besarnya jumlah karbon dioksida
(CO2) yang terlepas ke atmosfir sehingga makin memperburuk iklim.
“Indonesia akan menjadi tuan rumah
pertemuan antar-pemerintah terpenting di Bali Desember nanti yang akan membahas
isu perubahan iklim. Kami berharap pemerintah akan mengambil kesempatan ini
untuk menunjukkan perannya dalam usaha dunia mencegah krisis global ini. Selain
mencari dukungan komunitas internasional, pemerintah juga harus menunjukkan
itikad baiknya dengan cara menghentikan kehancuran hutan gambut lebih jauh.
Pemerintah juga harus menegakkan hukum yang berlaku terhadap perusahaan dan
perkebunan kelapa sawit yang melanggar dan secara sengaja menyulut api untuk
membuka lahannya,” tambah Hapsoro.
Greenpeace adalah organisasi
kampanye independen yang menggunakan konfrontasi kreatif dan tanpa kekerasan
untuk mengungkap masalah lingkungan hidup dan mendorong solusi yang diperlukan
untuk masa depan yang hijau dan damai.