Illegal
logging atau pembalakan hutan secara liar di Indonesia sudah sangat
memprihatinkan, sehingga menjadi salah satu tindak pidana kehutanan yang
menonjol dalam beberapa tahun terakhir bahkan menjadi sorotan dunia
internasional. Diperkirakan kerugian yang ditimbulkan karena aksi pembalakan
liar disinyalir mencapai Rp45 triliun per tahunnya dan hutan yang dijarah
sekitar 3 juta hektar.
Berdasarkan
perhitungan yang dilansir WWF-Bank Dunia, 78% kayu yang beredar dari hutan
Indonesia berasal dari kegiatan illegal logging. Selanjutnya dinyatakan bahwa
sebelumnya (2002) laju penyusutan hutan Indonesia mencapai dua juta hektar per
tahun.
Upaya
dan kebijakan untuk atasi kejahatan hutan Sebenarnya berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah Indonesia untuk memberantas tindak kejahatan ini,
diantaranya melalui keberadaan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh
Wilayah Indonesia dengan menunjuk 18 instansi untuk menangani illegal logging.
Masih banyaknya dijumpai kasus illegal logging di sejumlah daerah,
mengindikasikan penanganannya belum mancapai hasil yang maksimal.
Menghadapi peliknya penanganan kasus illegal logging, praktisi hukum, Adnan Buyung Nasution, di tengah acara seminar \"Penanganan Tindak Pidana Kehutanan dan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Perspektif Tipikor\", di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, tanggal 16 Juli 2007, melemparkan usulan agar para penikmat pembalakan hutan liar di jerat oleh Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Proses hukum harus dikenakan kepada semua pelaku, baik di lapangan maupun pelaku di luar pengusaha industri kehutanan, dalam hal ini oknum pegawai pemerintah yang menerima secara rutin uang suap sebagai imbalan untuk pemberian hak konsesi dan izin pemanfaatan hasil hutan. Selain itu, mengusulkan audit kehutanan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan BPK, meliputi audit seluruh perizinan yang sudah dikeluarkan dan berbagai aspek lainnya dalam bidang kehutanan baik di pusat maupun di daerah.
Langkah-langkah
strategis penanganan kasus illegal logging yang diusulkan Bang Adnan Buyung
Nasution tersebut, patut ditiru dalam penanganan kasus serupa di wilayah Aceh,
terutama untuk melengkapi dan memback-up kebijakan Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam, Irwan Yusuf mengenai pemberlakukan moratorium logging (jeda tebang)
yang ditetapkan sejak 6 Juni 2007.
Kebijakan
moratorium logging dinilai tepat dan sangat diharapkan untuk mengatasi berbagai
masalah terkait dengan konservasi sumber daya hutan, penghijauan kembali hutan
Aceh dan pemberantasan illegal logging. Meski, pada kenyataannya kasus-kasus
pembalakan hutan di Aceh masih sering terjadi. Dalam hal ini, bagaimanapun
sinyalemen minimnya koordinasi dalam penanganan illegal logging hendaknya
disikapi secara bijak dan cerdas. Apalagi saat ini isu illegal logging tidak
bisa dipisahkan dari kepastian hukum investasi terkait dengan sektor kehutanan,
dan kenyataannya masyarakat di Aceh tidak bisa mengelak dari kebutuhannya
terhadap kayu, terutama dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
tsunami.
Fakta-fakta
penyimpangan dalam praktik \'illegal logging\' Sebelum jauh membahas
upaya pemberantasan tindakan kejahatan hutan (illegal logging), terlebih dahulu
kiranya perlu dipahami beberapa fakta yang ditemui seringkali terjadi dalam
proses illegal logging, yakni meliputi kegiatan illegal processing dan illegal
trade. Dipahami bahwa illegal processing merupakan semua kegiatan proses
lanjutan terhadap hasil tebangan secara illegal, terdiri dari: Pertama, hak
kepemilikan, menguasai atau memiliki atau menyimpan kayu hasil tebangan secara
illegal. Kedua, pergerakan kayu, meliputi kegiatan mengangkut atau mengeluarkan
kayu dari kawasan hutan negara dari hasil curian. Ketiga, pengolahan kayu.
Sementara, llegal trade merupakan proses lebih lanjut yang dapat memicu atau
menjadi alasan kegiatan eksploitasi kayu secara illegal tetap berjalan,
meliputi kegiatan
perdagangan,penyelundupan,perizinandanpelanggaran.Sedangkan
pihak-pihak yang terlibat di lapangan melibatkan suatu kerjasama secara
terorganisasi dari beberapa elemen sebagai pelaku utama, yakni cukong sebagai
pemilik modal, bisa berasal dari WNA, penguasa birokrasi atau pejabat;
masyarakat setempat atau pendatang; pemilik pabrik moullding atau sawmill;
pemegang izin HPH atau IPKH; dan oknum aparat keamanan.
Berbagai modus operandi kegiatan illegal logging terdiri dari kegiatan di hulu hutan dan di hilir hutan. Kegiatan di hulu hutan, meliputi: penebangan dilakukan tanpa izin dari pejabat berwenang; perbedaan kebijakan daerah tentang tata usaha kayu; penebangan dengan dilengkapi izin tetapi dilakukannya di luar area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) atau izin lainnya yang sah; penebangan liar dengan melibatkan masyarakat setempat, tetapi digerakkan atau didanai oleh cukong; dan melibatkan oknum pejabat pemerintah/aparat sebagai backing atau sebagai koordinator kegiatan penebangan liar.
sementara
kegiatan di hilir hutan, meliputi: kayu yang tidak dilengkapi dengan dokumen
SKSHH; kayu dilengkapi dengan dokumen palsu; muatan kayu secara fisik di
kapal/truk tidak sesuai dengan yang tertera dalam dokumen SKSHH; memanfaatkan
risalah lelang; SKSHH digunakan berulang-ulang dengan; menggunakan dokumen
pengganti; dan kayu diselundupkan dengan dokumen palsu atau tanpa dokumen.
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut di atas, dipandang kejahatan hutan tersebut sangat
berbahaya dan bahkan lebih berbahaya dibandingkan pelaku korupsi, karena
kejahatan hutan berakibat langsung terhadap keselamatan jiwa manusia. Namun
demikian, tampaknya perhatian terhadap masalah kerusakan hutan tidak sebesar
perhatian terhadap korupsi. Kondisi ini juga sebagai salah satu pemicu maraknya
illegal logging.
Dari
catatan beberapa relawan dan LSM pemerhati masalah hutan bahwa kerusakan hutan,
berakibat terjadinya tanah longsor dan banjir di wilayah Aceh sudah merata di
sejumlah wilayah, seperti Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bireuen,
Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulide, Aceh Selatan dan Aceh
Tengah. Sementara kerusakan hutan akibat eksploitasi yang membabi buta, telah
mengakibatkan kerusahan hutan dalam sehari mencapai dua kali lapangan sepak
bola atau setara dengan 20,796 hektar. Seandainya kejahatan hutan tersebut
tidak melibatkan pemilik modal besar (cukong), back up dari oknum birokrat atau
aparat keamanan dan rendahnya kredibilitas penegakan hukum serta adanya
jaringan lintas negara, sangat mungkin penyelesaiannya tidak serumit yang
dihadapi. Namun demikian, tidak ada istilah menyerah dalam memerangi kejahatan
hutan di Aceh, yang penting aparat birokrasi dan aparatur keamanan di daerah
tetap pada komitmennya untuk tidak lagi berkompromi atau menjadi \"Satpam
hutan\" yang hanya menguntungkan kepentingan penjahat atau perusak hutan.